Minggu, 10 Mei 2009

Moratorium

Pemerintah sudah menyerah dan tidak mampu menghentikan kehancuran hutan aceh, penebangan haram dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sulit diatasi bahkan semakin terang-terangan dilakukan, dokumen-dokumen resmi yang melegalisasi kayu-kayu haram tersebut dan perlindungan oknum aparat penegak hukum menyebabkan praktek haram ini semakin sulit diberantas. Puncak kehancuran hutan aceh dibuktikan dengan terjadinya Banjir bandang yang melanda tujuh daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pemerintah seharusnya sudah mulai jeli dan harus berani dalam memainkan kebijakan atau regulasi disektor kehutanan, termasuk langkah berani untuk melakukan Moratorium Penebangan (pembalakan) hutan. Solusi ini, dibeberapa tempat terbukti manjur untuk menghentikan kerusakan hutan dan menyelamatkan hutan-hutan alam yang tersisa. Seharusnya pemerintah tidak perlu ragu untuk memberlakukan Moratorium Hutan Aceh, dilihat dari jumlah perizinan yang beredar hampir dipastikan tidak ada izin penebangan skala kecil IPHHK yang beroperasi termasuk izin penebangan skala besar HPH, kalaupun ada izin penebangan yang beroperasi, izin tersebut dipastikan illegal, rekayasa oknum Dinas Kehutanan yang tidak bertanggungjawab. Selain tidak adanya izin penebangan, hutan aceh dapat dikategorikan sebagai hutan stadium kritis, sepertinya tingginya angka deforestrasi, illegal logging, dan praktek sawmill illegal. Indikator-indikator tersebut merupakan justifikasi kuat pemerintah untuk memberlakukan Moratorium Penebangan Hutan.

Laju deforestrasi hutan aceh tiap tahunnya terus meningkat, dari tahun 1985 sampai dengan tahun 1997 telah terjadi pengurangan luas kurang lebih 270.347 ha atau 20.796 ha pertahun, bahkan laju deforestrasi ini kian mengalami kenaikan yang cukup fantastis, selama tahun 2005-2006 diperkirakan deforestrasi hutan aceh mencapai 266.000 ha, hampir setara empat kali lipat luas negara Singapura. Pemicu kehancuran hutan aceh salah satunya adalah proses rehabilitasi dan rekonstruksi aceh yang tidak mempunyai standart legalitas penggunaan kayu.

Kehancuran hutan aceh bukanlah isapan jempol, mari kita lihat angka kayu sitaan dari hasil praktek haram ini, di tahun 2005 tercatat 33.249,25 meter kubik kayu olahan yang disita aparat melalui berbagai operasi terpadu, jika dibandingkan pada tahun berikutnya, maka terjadi kenaikan hampir empat kali lipat di tahun 2006 atau 120.209,50 meter kubik, kenaikan yang cukup fantastis dan sebanding dengan angka laju deforestrasi hutan aceh.

Angka kayu sitaan adalah salah satu indikator mengukur kehancuran hutan aceh, indikator lainnya adalah praktek haram yang menyebabkan banjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Gayo Lues. Dari bulan Januari hingga Oktober 2006 ditemukan 279 kasus kegiatan illegal yang terjadi didalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), terdiri dari 162 kasus illegal logging, 92 kasus perambahan, dan 21 sawmill yang memanfaatkan kayu hasil illegal logging. Dari 162 kasus illegal logging tersebut mampu memproduksi kayu kurang lebih 8.037,5 meter kubik, sedangkan 92 kasus perambahan hutan telah mengkonversi areal seluas 3.826 ha, dan jumlah produksi kayu dari aktivitas 21 sawmill illegal tersebut mencapai 23.100 meter kubik. Jika kita lihat gap selisih yang terjadi antara jumlah produksi kayu illegal logging dan jumlah produksi kayu sawmill illegal sebesar 15.062,5 meter kubik, memperlihatkan pada kita bahwa sangat rumit mengendalikan aktivitas pembalakkan haram ini.

Resep Moratorium

Moratorium (jeda) pembalakan kayu adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium biasanya ditentukan oleh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi tersebut.

Masalah struktural kehutanan yang kita hadapi saat ini begitu ruwet dan kompleks. Masalah-masalah tersebut tidak berdiri sendiri, namun saling saling mempengaruhi satu dengan lain. Reformasi kehutanan hanya dapat tercapai bila masalah-masalah tersebut dapat diatasi secara simultan dan menyeluruh untuk menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Dengan tingkat kompleksitas masalah tersebut, moratorium menyediakan peluang dan manfaat ganda bagi pelaksanaan seluruh langkah-langkah perubahan yang diperlukan untuk melakukan reformasi di bidang kehutanan.

Moratorium pembalakan kayu di Aceh dapat dihubungkan dengan keinginan atau komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi di bidang kehutanan. Moratorium pembalakan kayu dapat dijadikan sebagai sebagai langkah dan proses pelaksanaan komitmen reformasi kehutanan tersebut.

Tahapan moratorium logging dan implementasi reformasi kehutanan

Maratorium pembalakan kayu hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Moratorium menawarkan kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan pelaksanaan komitmen pemerintah di sektor kehutanan. Moratorium juga menjadi langkah awal bagi pelaksanaan seluruh reformasi tersebut. Langkah-langkah moratorium dapat dilakukan selama dua hingga tiga tahun dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap I: Penghentian pengeluaran ijin-ijin baru

Moratorium atau penghentian pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru HPH, IPK/IPHHK, perkebunan, sambil menghentikan keran ekspor kayu bulat serta mengeluarkan kebijakan impor untuk kebutuhan rekonstruksi aceh dan industri olah kayu. Dalam tahap ini, perlu pula dilakukan penundaan pelaksanaan wewenang untuk pemberian ijin HPH dan IPHH (seluas <1000>

Tahap II: Pelaksanaan uji menyeluruh kinerja industri kehutanan

Dalam waktu 2 bulan setelah moratorium dilaksanakan, penghentian ijin HPH, IPK/IPHHK, dan perkebunan bermasalah terutama yang memiliki kredit macet yang sedang ditangani oleh BPPN. Utang harus dibayar kembali oleh pemilik dan penegakan hukum dilakukan bagi industri-industri yang bermasalah. Pada tahap ini penilaian asset industri-industri bermasalah harus dilaksanakan melalui due diligence secara independen oleh pihak ketiga.

Pada tahap ini juga dapat dilakukan proses Uji ketaatan (complience) dan penindakan terhadap pelaku rekonstruksi, BRR Aceh-Nias, NGO lokal, dan NGO International yang masih menggunakan kayu illegal atau menggunakan kayu selain kayu import. Penindakan dapat dilakukan dengan cara menghentikan dan mencabut seluruh kontrak bagi kontraktor BRR Aceh-Nias, menindak pidana bagi NGO lokal, dan mendeportasi (memulangkan) NGO International yang terlibat penggunaan kayu illegal.

Tahap III: Penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam

Dalam waktu 6 bulan, pemerintah harus menghentikan seluruh penebangan kayu di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Penataan kembali wilayah hutan serta penanganan masalah sosial akibat moratorium logging dengan mempekerjakan kembali para pekerja pada proyek-proyek penananam pohon dan pengawasan hutan, seperti yang terjadi di Cina.

Tahap IV: Penghentian sementara seluruh penebangan hutan dan penyelesaian masalah-masalah potensi sosial

Dalam waktu satu tahun moratorium pembalakan kayu dilaksanakan, pemerintah dapat menghentikan seluruh kegiatan penebangan kayu di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan penanganan masalah sosial yang muncul sejauh ini dan selama masa moratorium dilaksanakan melalui sebuah kebijakan Provinsi.

Tahap V: Larangan penebangan di seluruh hutan Aceh

Dalam waktu 2-3 tahun: penghentian seluruh penebangan kayu di hutan alam untuk jangka waktu yang ditentukan di seluruh hutan Aceh. Pada masa ini, penebangan kayu hanya diijinkan di hutan-hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal. Subjek diberlakukannya moratorium tentu saja adalah pemerintah bersama masyarakat lokal. Dengan proses sosialiasi yang matang, maka masyarakat dapat menjadi aktor utama dalam memastikan bahwa moratorium ini dapat ditegakkan. Pemerintah-pemerintah Kabupaten/Kota juga harus menjadi unsur penting dalam pelaksanaan moratorium ini, dengan tentu saja menjelaskan keuntungan pelaksanaan moratoium ini bagi masa depan daerahnya.

Kebutuhan kayu domestik, rekonstruksi, dan industri dapat diimpor melalui kebijakan membuka keran impor kayu selebar-lebarnya. Margin keuntungan dari industri kayu yang besar memungkinkan menggunakan suplai dari kayu impor. Tujuan jangka panjang pelaksanaan moratorium adalah menyeimbangkan kapasitas industri pada tingkat keberlanjutan hutan alam.

Selama moratorium dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam negeri, pada dasarnya kita sama saja dengan melakukan bunuh diri. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Aceh.

Jika Pemerintah serius dalam memberantas illegal logging, tentunya harus memberantas dari akarnya. Pemberantasan illegal logging dengan cara seporadis melalui berbagai operasi terpadu hanyalah langkah taktis dan bukan penyelesaian masalah secara fundamental. Ancaman aktivitas illegal logging dihutan Aceh adalah bukti lemah dan rapuhnya system penataan industri hulu dan hilir sektor kehutanan, jawabannya bukan hanya sekedar melakukan operasi terpadu, tetapi melakukan perubahan system dan kebijakan secara radikal dan berani, yaitu; Melakukan Moratorium Hutan Aceh.-Selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar