Minggu, 10 Mei 2009

Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh Ancam...............

Tingkat deforestasi dan degradasi hutan Aceh telah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Deforestasi kawasan hutan Aceh selama 2002-2004 mencapai angka hampir 200.000 hektar. Hampir 60% praktik deforestasi tersebut terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung, termasuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Deforestasi juga terjadi di luar kawasan hutan melalui praktik konversi untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan, seperti perkebunan dan kegiatan budi daya lainnya—yang mencapai luasan lebih dari 156.000 hektar. Deforestasi di luar kawasan hutan ini menyumbang sebesar 45% dari total deforestasi di Aceh. Secara total, deforestasi hutan Aceh mencapai angka lebih dari 350.000 hektar selama 2002-2004, setara lebih dari 5 kali lipat luas Singapura. Deforestasi tersebut menyebabkan degradasi hutan Aceh semakin parah, mencapai angka 1,87 juta hektar, yang di antaranya tersebar pada 75% kawasan konservasi dan hutan lindung. Kondisi tersebut jelas mengancam keberlanjutan proses rekonstruksi Aceh, apalagi jika tidak ada penanganan yang serius mulai sekarang terhadap meluasnya praktik deforestasi hutan di Aceh.
Studi Greenomics menunjukkan bahwa lebih dari 81% konsentrasi deforestasi terjadi pada 11 kabupaten di sepanjang pantai barat-selatan dan wilayah Aceh bagian tengah. Sedangkan lebih dari 83% degradasi hutan juga tersebar pada kawasan hutan di kabupaten-kabupaten tersebut. Tujuh kabupaten di sepanjang pantai barat-selatan menyumbang deforestasi sebesar 45,37%, sedangkan empat kabupaten pada wilayah Aceh Bagian Tengah menyumbang sebesar 36,25%. Sisanya tersebar di sepanjang pantai utara, timur, dan pulau-pulau di wilayah administratif Provinsi NAD.
”Tingkat deforestasi dan degradasi yang memprihatinkan tersebut justru terjadi ketika kebijakan penghentian sementara penebangan kayu di Aceh (logging moratorium) diberlakukan. Faktanya, selama 2002-2004, lebih dari 115.000 hektar kawasan konservasi dan hutan lindung terdeforestasi. Pada masa konflik, tingkat produksi kayu di Aceh turun hingga 90%, tapi deforestasi meningkat. Tentu ini menjadi tanda tanya besar. Anehnya lagi, berdasarkan data Departemen Kehutanan, disebutkan bahwa tidak terjadi kerusakan hutan akibat penebangan liar di Aceh pada tahun 2004. Data ini jelas menyesatkan publik”, jelas Elfian. Sementara itu, prediksi spasial Greenomics menunjukkan bahwa selama 2005-2006 diperkirakan deforestasi di dalam kawasan hutan Aceh akan mencapai angka lebih dari 266.000 hektar atau setara 4 kali lipat luas Singapura. Angka ini belum termasuk deforestasi di luar kawasan hutan. Pada akhir 2006, diprediksi luas degradasi hutan Aceh akan mencapai angka 2,2 juta hektar, setara 44% dari total luas daratan Aceh. Laju deforestasi dan degradasi selama 2005-2006 diperkirakan rata-rata meningkat hampir 30%. Greenomics mengkhawatirkan tragedi ekologi akan mengancam Aceh, seperti banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan dalam skala besar. Investasi rekonstruksi dan proses pemulihan sektor riil di Aceh juga dikhawatirkan akan terimbas efek negatifnya. Untuk itu, Greenomics meminta BRR harus memperhatikan secara serius kondisi ekologi hutan Aceh tersebut dan mengambil tindakan dan kebijakan preventif yang cepat dan tepat. ”Rekonstruksi Aceh tidak bisa mengabaikan kondisi deforestasi dan degradasi hutan Aceh tersebut, karena proses rekonstruksi telah mendorong tingkat deforestasi dan degradasi hutan meningkat lebih cepat selama ini sebagai akibat terbatasnya solusi pemenuhan kebutuhan kayu secara legal”.
Greenomics merekomendasikan 4 tindakan cepat yang harus dilakukan, yakni periksa legalitas sumber kayu seluruh panglong kayu yang beroperasi di Aceh dengan melibatkan tim independen, batalkan kenaikan JPT 2006 di Aceh yang mencapai 10 kali lipat dari tahun sebelumnya, segera membuat kesepakatan bersama antara BRR, Departemen Kehutanan, dan Pemda Provinsi NAD dalam rangka pemenuhan kebutuhan kayu secara legal dan berkelanjutan untuk rekonstruksi Aceh hingga akhir tahun 2008, dan terapkan Inpres No. 4/2005 tentang pemberantasan penebangan liar dengan membentuk Satker (Satuan Kerja) Multipihak pada tingkat kabupaten. ”Kalau perlu, tetapkan pengamanan hutan Aceh dalam status Siaga Satu”.
Catatan: Provinsi NAD—dengan luas daratan lebih dari 5 juta hektar—memiliki kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar lebih (62,7%), di antaranya sekitar 2,7 juta hektar kawasan konservasi dan hutan lindung dan hampir 640.000 hektar untuk kawasan budi daya kehutanan.
Deforestasi adalah penebangan tutupan hutan (tegakan pohon) dan aktivitas konversi lahan lainnya, sedangkan degradasi hutan adalah penurunan kerapatan pohon dan/atau peningkatan kerusakan hutan yang menimbulkan perubahan tutupan hutan (misalnya, dari hutan tertutup menjadi hutan terbuka), sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan berbagai layanan dan fungsi ekologis hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar