Minggu, 12 Juli 2009

CHANCE FOREST of ACEH.


Seething with excitement for Acheh forest [in] early month;moon of maret last, good old**llama*which have was awaited by public after Sub-Province of Tamiang punched [by] floods and slide [at] last December, 75 people die and 200.000 people become refugee, loss appraised to reach Rp 2 triliun. Good how goes the word that ? Moratorium Forest Acheh, becoming Governor komitmen Governance of Acheh by abstracting permit of illegal and legal. By kontekstual, forest moratorium of aceh is urgent agenda to immediately isn't it by kongkriet, and not merely limited to discourse on paper for the consumption of mass media. forest of Aceh is the part of tropical forest [of] indonesia having storey;level of deforestrasi highest and quickest in all the world, according to report of Food Agriculture Organisation and ( FAO) 2007, loss indonesia 1,9 million ha forest every year him or 8 football ground times;rill per his minute, and according to World Bank, 70 until 80 [gratuity/ %] of circulation of wood in Indonesia is illegal. [Among/Between] Moratorium and Plantation of Sawit Moratorium ( jeda) isn't it wood is stop or coagulation whereas entire/all aktifitas hewing of big and small scale wood ( industrial scale) selected for the time being until a wanted condition to be reached. Llama or a period of/to the goning into effect of moratorium was usually determined by how much/many time depth required to reach the condition. Structural problem [of] forestry which we face in this time intricate so complex and. The problems not selfsupporting, but each other influencing one otherly. Forestry reform can only reach [by] if/when the problems can overcome by simultan and totally to [go] to management of fair forest sumberdaya and have continuation. With problem complexity storey;level, moratorium provide double benefit and opportunity for execution entire/all stages;steps.
HALTED. CROSSING PARAGRAPH LIMITATION.

Jumat, 10 Juli 2009

NASIB HUTAN ACEH



ADA KHABAR yang menggembirakan bagi hutan Aceh di awal bulan maret lalu, khabar baik yang telah lama ditunggu oleh publik setelah Kabupaten Tamiang dihantam banjir dan longsor pada Desember lalu, 75 orang meninggal dan 200.000 orang menjadi pengungsi, kerugian ditaksir mencapai Rp 2 triliun. Apa Khabar baik itu ? Moratorium Hutan Aceh, yang menjadi komitmen Gubernur Pemerintahan Aceh dengan cara mencabut perizinan illegal dan legal.
Secara kontekstual, moratorium hutan aceh merupakan agenda mendesak untuk segera direalisasikan secara kongkriet, dan bukan hanya sebatas wacana diatas kertas untuk konsumsi pers. Hutan aceh merupakan bagian dari hutan tropis indonesia yang mempunyai tingkat deforestrasi tercepat dan tertinggi di seluruh dunia, menurut laporan Food and Agriculture Organisation (FAO) 2007, indonesia kehilangan 1,9 juta ha hutan setiap tahunnya atau 8 kali lapangan sepakbola per menitnya, dan menurut World Bank, 70 sampai 80 persen peredaran kayu di Indonesia adalah illegal.
Antara Moratorium dan Perkebunan Sawit
Moratorium (jeda) pembalakan kayu adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium biasanya ditentukan oleh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi tersebut.
Masalah struktural kehutanan yang kita hadapi saat ini begitu ruwet dan kompleks. Masalah-masalah tersebut tidak berdiri sendiri, namun saling mempengaruhi satu dengan lain. Reformasi kehutanan hanya dapat tercapai bila masalah-masalah tersebut dapat diatasi secara simultan dan menyeluruh untuk menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Dengan tingkat kompleksitas masalah tersebut, moratorium menyediakan peluang dan manfaat ganda bagi pelaksanaan seluruh langkah-langkah perubahan yang diperlukan untuk melakukan reformasi di bidang kehutanan.
Moratorium pembalakan kayu di Aceh dapat dihubungkan dengan keinginan atau komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi di bidang kehutanan. Moratorium pembalakan kayu dapat dijadikan sebagai sebagai langkah dan proses pelaksanaan komitmen reformasi kehutanan tersebut.
Reformasi kehutanan tidak akan berjalan jika didahului dengan membuka kran investasi, terutama di bidang perkebunan kelapa sawit yang merupakan bagian dari reformasi kehutanan. Existing perkebunan kelapa sawit di Aceh telah mencapai 300.000 hektar di wilayah pantai timur dan barat, perkebunan sawit di Aceh masih didominasi oleh perusahaan negara PT Perkebunan Nusantara.
Jika kemudian rencana pemerintah untuk menarik investor dibidang perkebunan besar, tambang mineral, minyak dan gas, serta industri processing lainnya, maka ini merupakan kegagalan dari agenda reformasi kehutanan yang akan dibangun oleh Pemerintah, justru agenda investasi tanpa didahului dengan penataan ruang dan regulasi yang mengaturnya, sama halnya dengan menciptakan persoalan baru, yang pada akhirnya akan menjadi senjata makan tuan.
Dampak Perkebunan Kelapa Sawit
Kehadiran perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan selain menimbulkan konflik horizontal dan vertikal, juga menimbulkan ancaman serius bagi ekologi. Menurut Saiful Achmad, Sawit Watch, 2005. Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia, diantaranya :
Pertama, Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
Kedua, Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
Ketiga, Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/Riau Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.
Keempat, Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
Kelima, Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal ini semakin merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (ornop) kemanusiaan yang melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.
Keenam, Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
Ketujuh, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998).
Investasi Berselimut Kemiskinan
Menurut Yayu Rhamdani, Sar Vision Indonesia, 2006. Luas 145.000 ha yang dikedepankan dalam rencana pembukaan perkebunan sawit di Aceh nampaknya sejalan dengan ambisi Indonesia untuk menjadi pengeksport utama minyak sawit dunia melampaui Malaysia pada tahun 2020. Menurut Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI, 2005) pada periode 2005 – 2020, untuk mencapai target sebagai pengeksport utama minyak sawit di dunia, Indonesia harus melakukan perluasan perkebunan sawit sekitar 120.000 – 140.000 ha per tahun. Artinya dalam waktu 15 tahun sudah harus ada perkebunan sawit baru seluas 1.8 – 2.1 juta hektar.
Peluang untuk mengentaskan kemiskinan dengan jalan membuka perkebunan sawit merupakan salah satu alternatif yang ditangkap oleh Pemerintah Provinsi Aceh dengan menggandeng investor dari Malaysia. Perkebunan sawit seluas 145.000 hektar dengan 14 pabrik pengolahannya akan dibangun dan diperuntukkan bagi 40.000 rakyat miskin dan yatim piatu di Aceh (Waspada, 2007). Selanjutnya akan dibentuk Aceh Plantation Development Authority (APDA) yang mengadopsi system di Malaysia, Federal Land Development Authority (FELDA) untuk menjadi penggerak investasi perkebunan kelapa sawit di NAD (Acehkita.com, 2007; Kompas, 2007).
Investasi perkebunan sawit di Aceh yang berselimut issue kemiskinan, ternyata justru dibangun dan dikembangkan oleh kelompok-kelompok bisnis mapan, dan pemain lama dalam mengembangkan bisnis perkebunan di Indonesia, penelusuran penulis melalui jaringan ornop lingkungan di Kalimantan dan Jakarta, investor perkebunan sawit dari Malaysia tersebut merupakan korporasi bisnis perkebunan sawit perbatasan Kalimantan. Proyek perkebunan sawit perbatasan Kalimantan ini juga merupakan bagian dari proyek ambisius pemerintah seluas 2,1 juta hektar perkebunan sawit.
Selain investor Malaysia, kelompok bisnis di Indonesia, melalui PT Bakrie Sumatra Plantation telah menapakkan jejaknya di Kabupaten Aceh Barat dengan perkebunan kelapa sawitnya. Selain kelompok Bakrie, yang akan mengembangkan perkebunan kelapa sawit adalah kelompok Astra, melalui PT Astra Agro Lestari seluas 200.000 hektar di Kabupaten Aceh Utara, Astra merupakan korporasi perkebunan kelapa sawit besar disumatera, dengan pengembangan hampir diseluruh wilayah sumatera.
Selain perusahaan tersebut diatas, masih banyak korporasi lainnya, seperti London Sumatera (Lonsum), Sinar Mas (Group APRIL). Rencana awal korporasi tersebut juga meletakkan kemiskinan dalam investasinya, tetapi dalam prosesnya, justru berbanding terbalik dengan rencana awalnya, konflik horizontal dan vertikal akibat model pengelolaan (Plasma Inti) yang dikembangkan pihak korporasi banyak merugikan petani penggarap (Plasma) dan monopoli pihak perusahaan (Inti). Tak urung kehadiran perkebunan Sawit diseluruh Tanah Air banyak mendatangkan segenap kemiskinan struktutal dan kehancuran ekologi.
Kontradiksi Pokok
Patutlah jika khabar baik reformasi kehutanan Aceh berubah menjadi khabar buruk, jika skenario investasi dibuka tanpa didahului dengan meletakkan prinsip yang fundamental, antara lain: Protokol penentuan protokol ambang batas investasi di Aceh, Protokol Ambang batas lingkungan, dan konsep Moratorium reformasi kehutanan.
Seharusnya Pemerintah Provinsi Aceh telah banyak belajar dan melihat model pengelolaan sumber daya alam yang carut-marut di Provinsi lain, dan telah paham perilaku Korporasi yang justru mendatangkan segenap kemiskinan struktural dipenjuru Indonesia, dengan system ekonomi pengakumulasian modalnya. Jika kemudian system ekonomi global pengakumulasian modal ini di copy paste ke Aceh maka belum pernah ada contoh di negara-negara ketiga, rakyatnya menjadi sejahtera.