Minggu, 10 Mei 2009

Moratorium

Pemerintah sudah menyerah dan tidak mampu menghentikan kehancuran hutan aceh, penebangan haram dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sulit diatasi bahkan semakin terang-terangan dilakukan, dokumen-dokumen resmi yang melegalisasi kayu-kayu haram tersebut dan perlindungan oknum aparat penegak hukum menyebabkan praktek haram ini semakin sulit diberantas. Puncak kehancuran hutan aceh dibuktikan dengan terjadinya Banjir bandang yang melanda tujuh daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pemerintah seharusnya sudah mulai jeli dan harus berani dalam memainkan kebijakan atau regulasi disektor kehutanan, termasuk langkah berani untuk melakukan Moratorium Penebangan (pembalakan) hutan. Solusi ini, dibeberapa tempat terbukti manjur untuk menghentikan kerusakan hutan dan menyelamatkan hutan-hutan alam yang tersisa. Seharusnya pemerintah tidak perlu ragu untuk memberlakukan Moratorium Hutan Aceh, dilihat dari jumlah perizinan yang beredar hampir dipastikan tidak ada izin penebangan skala kecil IPHHK yang beroperasi termasuk izin penebangan skala besar HPH, kalaupun ada izin penebangan yang beroperasi, izin tersebut dipastikan illegal, rekayasa oknum Dinas Kehutanan yang tidak bertanggungjawab. Selain tidak adanya izin penebangan, hutan aceh dapat dikategorikan sebagai hutan stadium kritis, sepertinya tingginya angka deforestrasi, illegal logging, dan praktek sawmill illegal. Indikator-indikator tersebut merupakan justifikasi kuat pemerintah untuk memberlakukan Moratorium Penebangan Hutan.

Laju deforestrasi hutan aceh tiap tahunnya terus meningkat, dari tahun 1985 sampai dengan tahun 1997 telah terjadi pengurangan luas kurang lebih 270.347 ha atau 20.796 ha pertahun, bahkan laju deforestrasi ini kian mengalami kenaikan yang cukup fantastis, selama tahun 2005-2006 diperkirakan deforestrasi hutan aceh mencapai 266.000 ha, hampir setara empat kali lipat luas negara Singapura. Pemicu kehancuran hutan aceh salah satunya adalah proses rehabilitasi dan rekonstruksi aceh yang tidak mempunyai standart legalitas penggunaan kayu.

Kehancuran hutan aceh bukanlah isapan jempol, mari kita lihat angka kayu sitaan dari hasil praktek haram ini, di tahun 2005 tercatat 33.249,25 meter kubik kayu olahan yang disita aparat melalui berbagai operasi terpadu, jika dibandingkan pada tahun berikutnya, maka terjadi kenaikan hampir empat kali lipat di tahun 2006 atau 120.209,50 meter kubik, kenaikan yang cukup fantastis dan sebanding dengan angka laju deforestrasi hutan aceh.

Angka kayu sitaan adalah salah satu indikator mengukur kehancuran hutan aceh, indikator lainnya adalah praktek haram yang menyebabkan banjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Gayo Lues. Dari bulan Januari hingga Oktober 2006 ditemukan 279 kasus kegiatan illegal yang terjadi didalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), terdiri dari 162 kasus illegal logging, 92 kasus perambahan, dan 21 sawmill yang memanfaatkan kayu hasil illegal logging. Dari 162 kasus illegal logging tersebut mampu memproduksi kayu kurang lebih 8.037,5 meter kubik, sedangkan 92 kasus perambahan hutan telah mengkonversi areal seluas 3.826 ha, dan jumlah produksi kayu dari aktivitas 21 sawmill illegal tersebut mencapai 23.100 meter kubik. Jika kita lihat gap selisih yang terjadi antara jumlah produksi kayu illegal logging dan jumlah produksi kayu sawmill illegal sebesar 15.062,5 meter kubik, memperlihatkan pada kita bahwa sangat rumit mengendalikan aktivitas pembalakkan haram ini.

Resep Moratorium

Moratorium (jeda) pembalakan kayu adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium biasanya ditentukan oleh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi tersebut.

Masalah struktural kehutanan yang kita hadapi saat ini begitu ruwet dan kompleks. Masalah-masalah tersebut tidak berdiri sendiri, namun saling saling mempengaruhi satu dengan lain. Reformasi kehutanan hanya dapat tercapai bila masalah-masalah tersebut dapat diatasi secara simultan dan menyeluruh untuk menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Dengan tingkat kompleksitas masalah tersebut, moratorium menyediakan peluang dan manfaat ganda bagi pelaksanaan seluruh langkah-langkah perubahan yang diperlukan untuk melakukan reformasi di bidang kehutanan.

Moratorium pembalakan kayu di Aceh dapat dihubungkan dengan keinginan atau komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi di bidang kehutanan. Moratorium pembalakan kayu dapat dijadikan sebagai sebagai langkah dan proses pelaksanaan komitmen reformasi kehutanan tersebut.

Tahapan moratorium logging dan implementasi reformasi kehutanan

Maratorium pembalakan kayu hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Moratorium menawarkan kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan pelaksanaan komitmen pemerintah di sektor kehutanan. Moratorium juga menjadi langkah awal bagi pelaksanaan seluruh reformasi tersebut. Langkah-langkah moratorium dapat dilakukan selama dua hingga tiga tahun dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap I: Penghentian pengeluaran ijin-ijin baru

Moratorium atau penghentian pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru HPH, IPK/IPHHK, perkebunan, sambil menghentikan keran ekspor kayu bulat serta mengeluarkan kebijakan impor untuk kebutuhan rekonstruksi aceh dan industri olah kayu. Dalam tahap ini, perlu pula dilakukan penundaan pelaksanaan wewenang untuk pemberian ijin HPH dan IPHH (seluas <1000>

Tahap II: Pelaksanaan uji menyeluruh kinerja industri kehutanan

Dalam waktu 2 bulan setelah moratorium dilaksanakan, penghentian ijin HPH, IPK/IPHHK, dan perkebunan bermasalah terutama yang memiliki kredit macet yang sedang ditangani oleh BPPN. Utang harus dibayar kembali oleh pemilik dan penegakan hukum dilakukan bagi industri-industri yang bermasalah. Pada tahap ini penilaian asset industri-industri bermasalah harus dilaksanakan melalui due diligence secara independen oleh pihak ketiga.

Pada tahap ini juga dapat dilakukan proses Uji ketaatan (complience) dan penindakan terhadap pelaku rekonstruksi, BRR Aceh-Nias, NGO lokal, dan NGO International yang masih menggunakan kayu illegal atau menggunakan kayu selain kayu import. Penindakan dapat dilakukan dengan cara menghentikan dan mencabut seluruh kontrak bagi kontraktor BRR Aceh-Nias, menindak pidana bagi NGO lokal, dan mendeportasi (memulangkan) NGO International yang terlibat penggunaan kayu illegal.

Tahap III: Penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam

Dalam waktu 6 bulan, pemerintah harus menghentikan seluruh penebangan kayu di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Penataan kembali wilayah hutan serta penanganan masalah sosial akibat moratorium logging dengan mempekerjakan kembali para pekerja pada proyek-proyek penananam pohon dan pengawasan hutan, seperti yang terjadi di Cina.

Tahap IV: Penghentian sementara seluruh penebangan hutan dan penyelesaian masalah-masalah potensi sosial

Dalam waktu satu tahun moratorium pembalakan kayu dilaksanakan, pemerintah dapat menghentikan seluruh kegiatan penebangan kayu di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan penanganan masalah sosial yang muncul sejauh ini dan selama masa moratorium dilaksanakan melalui sebuah kebijakan Provinsi.

Tahap V: Larangan penebangan di seluruh hutan Aceh

Dalam waktu 2-3 tahun: penghentian seluruh penebangan kayu di hutan alam untuk jangka waktu yang ditentukan di seluruh hutan Aceh. Pada masa ini, penebangan kayu hanya diijinkan di hutan-hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal. Subjek diberlakukannya moratorium tentu saja adalah pemerintah bersama masyarakat lokal. Dengan proses sosialiasi yang matang, maka masyarakat dapat menjadi aktor utama dalam memastikan bahwa moratorium ini dapat ditegakkan. Pemerintah-pemerintah Kabupaten/Kota juga harus menjadi unsur penting dalam pelaksanaan moratorium ini, dengan tentu saja menjelaskan keuntungan pelaksanaan moratoium ini bagi masa depan daerahnya.

Kebutuhan kayu domestik, rekonstruksi, dan industri dapat diimpor melalui kebijakan membuka keran impor kayu selebar-lebarnya. Margin keuntungan dari industri kayu yang besar memungkinkan menggunakan suplai dari kayu impor. Tujuan jangka panjang pelaksanaan moratorium adalah menyeimbangkan kapasitas industri pada tingkat keberlanjutan hutan alam.

Selama moratorium dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam negeri, pada dasarnya kita sama saja dengan melakukan bunuh diri. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Aceh.

Jika Pemerintah serius dalam memberantas illegal logging, tentunya harus memberantas dari akarnya. Pemberantasan illegal logging dengan cara seporadis melalui berbagai operasi terpadu hanyalah langkah taktis dan bukan penyelesaian masalah secara fundamental. Ancaman aktivitas illegal logging dihutan Aceh adalah bukti lemah dan rapuhnya system penataan industri hulu dan hilir sektor kehutanan, jawabannya bukan hanya sekedar melakukan operasi terpadu, tetapi melakukan perubahan system dan kebijakan secara radikal dan berani, yaitu; Melakukan Moratorium Hutan Aceh.-Selesai-

Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh Ancam...............

Tingkat deforestasi dan degradasi hutan Aceh telah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Deforestasi kawasan hutan Aceh selama 2002-2004 mencapai angka hampir 200.000 hektar. Hampir 60% praktik deforestasi tersebut terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung, termasuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Deforestasi juga terjadi di luar kawasan hutan melalui praktik konversi untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan, seperti perkebunan dan kegiatan budi daya lainnya—yang mencapai luasan lebih dari 156.000 hektar. Deforestasi di luar kawasan hutan ini menyumbang sebesar 45% dari total deforestasi di Aceh. Secara total, deforestasi hutan Aceh mencapai angka lebih dari 350.000 hektar selama 2002-2004, setara lebih dari 5 kali lipat luas Singapura. Deforestasi tersebut menyebabkan degradasi hutan Aceh semakin parah, mencapai angka 1,87 juta hektar, yang di antaranya tersebar pada 75% kawasan konservasi dan hutan lindung. Kondisi tersebut jelas mengancam keberlanjutan proses rekonstruksi Aceh, apalagi jika tidak ada penanganan yang serius mulai sekarang terhadap meluasnya praktik deforestasi hutan di Aceh.
Studi Greenomics menunjukkan bahwa lebih dari 81% konsentrasi deforestasi terjadi pada 11 kabupaten di sepanjang pantai barat-selatan dan wilayah Aceh bagian tengah. Sedangkan lebih dari 83% degradasi hutan juga tersebar pada kawasan hutan di kabupaten-kabupaten tersebut. Tujuh kabupaten di sepanjang pantai barat-selatan menyumbang deforestasi sebesar 45,37%, sedangkan empat kabupaten pada wilayah Aceh Bagian Tengah menyumbang sebesar 36,25%. Sisanya tersebar di sepanjang pantai utara, timur, dan pulau-pulau di wilayah administratif Provinsi NAD.
”Tingkat deforestasi dan degradasi yang memprihatinkan tersebut justru terjadi ketika kebijakan penghentian sementara penebangan kayu di Aceh (logging moratorium) diberlakukan. Faktanya, selama 2002-2004, lebih dari 115.000 hektar kawasan konservasi dan hutan lindung terdeforestasi. Pada masa konflik, tingkat produksi kayu di Aceh turun hingga 90%, tapi deforestasi meningkat. Tentu ini menjadi tanda tanya besar. Anehnya lagi, berdasarkan data Departemen Kehutanan, disebutkan bahwa tidak terjadi kerusakan hutan akibat penebangan liar di Aceh pada tahun 2004. Data ini jelas menyesatkan publik”, jelas Elfian. Sementara itu, prediksi spasial Greenomics menunjukkan bahwa selama 2005-2006 diperkirakan deforestasi di dalam kawasan hutan Aceh akan mencapai angka lebih dari 266.000 hektar atau setara 4 kali lipat luas Singapura. Angka ini belum termasuk deforestasi di luar kawasan hutan. Pada akhir 2006, diprediksi luas degradasi hutan Aceh akan mencapai angka 2,2 juta hektar, setara 44% dari total luas daratan Aceh. Laju deforestasi dan degradasi selama 2005-2006 diperkirakan rata-rata meningkat hampir 30%. Greenomics mengkhawatirkan tragedi ekologi akan mengancam Aceh, seperti banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan dalam skala besar. Investasi rekonstruksi dan proses pemulihan sektor riil di Aceh juga dikhawatirkan akan terimbas efek negatifnya. Untuk itu, Greenomics meminta BRR harus memperhatikan secara serius kondisi ekologi hutan Aceh tersebut dan mengambil tindakan dan kebijakan preventif yang cepat dan tepat. ”Rekonstruksi Aceh tidak bisa mengabaikan kondisi deforestasi dan degradasi hutan Aceh tersebut, karena proses rekonstruksi telah mendorong tingkat deforestasi dan degradasi hutan meningkat lebih cepat selama ini sebagai akibat terbatasnya solusi pemenuhan kebutuhan kayu secara legal”.
Greenomics merekomendasikan 4 tindakan cepat yang harus dilakukan, yakni periksa legalitas sumber kayu seluruh panglong kayu yang beroperasi di Aceh dengan melibatkan tim independen, batalkan kenaikan JPT 2006 di Aceh yang mencapai 10 kali lipat dari tahun sebelumnya, segera membuat kesepakatan bersama antara BRR, Departemen Kehutanan, dan Pemda Provinsi NAD dalam rangka pemenuhan kebutuhan kayu secara legal dan berkelanjutan untuk rekonstruksi Aceh hingga akhir tahun 2008, dan terapkan Inpres No. 4/2005 tentang pemberantasan penebangan liar dengan membentuk Satker (Satuan Kerja) Multipihak pada tingkat kabupaten. ”Kalau perlu, tetapkan pengamanan hutan Aceh dalam status Siaga Satu”.
Catatan: Provinsi NAD—dengan luas daratan lebih dari 5 juta hektar—memiliki kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar lebih (62,7%), di antaranya sekitar 2,7 juta hektar kawasan konservasi dan hutan lindung dan hampir 640.000 hektar untuk kawasan budi daya kehutanan.
Deforestasi adalah penebangan tutupan hutan (tegakan pohon) dan aktivitas konversi lahan lainnya, sedangkan degradasi hutan adalah penurunan kerapatan pohon dan/atau peningkatan kerusakan hutan yang menimbulkan perubahan tutupan hutan (misalnya, dari hutan tertutup menjadi hutan terbuka), sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan berbagai layanan dan fungsi ekologis hutan.

Hutan Aceh Akan Menjadi Harapan Dunia

Mangrove, Pelindung Alami Bahaya Tsunami

INDONESIA memiliki garis pantai hampir sepanjang 81.000 kilometer karena wilayahnya yang merupakan daerah kepulauan. Wilayah pesisir itu menjadi penting karena merupakan pertemuan antara ekosistem daratan dan ekosistem lautan.

Ekosistem wilayah pantai berkarakter unik dan khas karena ekosistemnya perpaduan antara kehidupan darat dan air. Ekosistem wilayah itu memiliki arti strategis karena memiliki potensi kekayaan hayati baik dari segi biologi, ekonomi, bahkan pariwisata. Hal itu mengakibatkan berbagai pihak ingin memanfaatkan secara maksimal potensi itu.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terbesar dan memiliki kekayaan hayati yang paling banyak. Luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 3,2 juta hektare, walaupun belakangan ini dilaporkan lebih dari 50 persen jumlah hutan itu sudah rusak.

Indonesia memiliki 75 persen hutan mangrove yang ada di Asia, dan 27 persen hutan mangrove yang ada di dunia. Sebagian besar mangrove itu berada di pesisir Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kondisi itu sebenarnya terus menurun sekitar 200 hektare per tahun akibat berbagai faktor yang terjadi di lokasi-lokasi hutan itu.

Keanekaragaman Jenis
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis. Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora spp), api-api (Avicennia spp), pedada (Sonneratia spp), tanjang (Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tenger (Ceriops spp) dan, buta-buta (Exoecaria spp).

Ekosistem mangrove memiliki manfaat ekonomis seperti hasil kayu dan bukan hasil kayu, seperti pariwisata dan lainnya. Sedangkan manfaat ekologis dapat berupa perlindungan bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan.

Secara ekologis hutan mangrove dapat menjadi penahan abrasi atau erosi, gelombang atau angin kencang, pengendali intrusi air laut dan tempat habitat berbagai jenis fauna. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang, berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis.

Mangrove dapat menyediakan makanan dan tempat berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang. Kusmana, melalui penelitiannya pada 2002, mengatakan, ekosistem mangrove menyediakan plasma nutfah yang cukup tinggi hingga 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut, dan berbagai jenis fauna darat.

Selain itu mangrove dapat mengontrol penyakit malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO2, dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain.

Pelindung
Pratikto, melalui studinya pada 2002, mengatakan, ekosistem mangrove juga dapat menjadi pelindung secara alami dari bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan, dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635,26 joule.

Dari segi ekonomi, di sekitar lokasi hutan mangrove bisa digunakan untuk tambak udang dan budidaya air payau. Di Indonesia diperkirakan terdapat 1.211.309 hektare lahan yang bisa dijadikan sebagai lahan tambak.

Industri perikanan tambak udang merupakan salah satu industri yang menggiurkan sebelum terjadi krisis moneter. Tetapi, kemudian setelah terjadi krisis pembukaan hutan mangrove semakin menjadi-jadi untuk mempertahankan pendapatan mereka.

Pembukaan lahan baru dengan mengorbankan hutan mangrove itu banyak terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.

Di Indonesia, nilai pemanfaatan hutan mangrove masih bernilai rendah karena masih sebatas eksploitatif. Selain itu, minimnya perhatian terhadap pelestarian kawasan hutan itu dari berbagai pihak menjadikan pembukaan lahan hutan semakin menjadi-jadi dalam skala besar dan waktu yang cepat.

Kerusakan kawasan hutan mangrove yang paling parah terutama di sekitar delta Mahakam, Kalimantan Timur. Kawasan hutan yang didominasi pohon nipah itu hanya terjadi pembukaan lahan tambak udang sekitar 15.000 hektar pada tahun 1997.

Namun, dalam tujuh tahun terakhir, hutan mangrove yang dibuka sudah sekitar 74.000 hingga 80.000 hektare, dan sisanya pun rusak cukup parah.

Di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, terjadi penyusutan hutan mangrove sejak tahun 1998. Sejumlah warga di beberapa desa yang berada di sekitar Teluk Segara Anakan mengalami penurunan perolehan ikan. Mereka akhirnya berubah profesi menjadi perajin gula kelapa. Dalam proses pembuatan gula kelapa itu dibutuhkan kayu-kayu untuk pembakaran. Warga pun menggunakan kayu mangrove untuk kayu bakar sehingga terjadi penyusutan 0,872-1,079 meter kubik per hari.

Tata Ruang Pesisir
Di negara-negara lain dalam kawasan ASEAN hutan mangrove sudah tidak dieksploitasi lagi. Pemanfaatannya dilakukan dengan menggunakan pendekatan pariwisata dan industri perikanan yang tidak mengubah ekosistem.

Pengelolaan hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Pusat terbatas pada pola umum dan penyusunan rencana makro rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Untuk menekan kerusakan yang terjadi, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Departemen Kehutanan secara bersama-sama harus memfasilitasi tersusunnya tata ruang wilayah pesisir pada setiap kabupaten sebagai dasar perencanaan pengelolaan pesisir serta sebagai sarana implementasi pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari.

Meningkatkan kualitas lingkungan pesisir dilakukan melalui rehabilitasi ekosistem mangrove untuk mengembalikan kepada fungsinya semula sebagai tempat pemijahan dan mencari makan dari berbagai jenis ikan dan udang, serta mitigasi bencana alam, pengendalian pencemaran, abrasi dan intrusi air laut.

Pemerintah harus mempertahankan kondisi mangrove yang masih ada dengan menghentikan perizinan yang bertujuan mengkonversikan hutan mangrove menjadi bentuk lain seperti tambak, pertanian, HPH, industri, pemukiman dan sebagainya. Selanjutnya rehabilitasi hutan dapat dilakukan pada hutan-hutan mangrove yang memiliki kondisi yang paling kritis dan butuh penanganan segera. Selanjutnya pemerintah juga perlu menyadarkan masyarakat akan pentingnya hutan mangrove bagi ekosistem di laut atau di darat. (K-11)

Kayu Hibah untuk Aceh
Selasa, 09 Januari 2007 13:58 WIB

TEMPO Interaktif, BANDA ACEH:Dua lembaga konservasi mendesak penggunaan kayu hibah luar negeri melalui program Timber for Aceh dalam pembangunan kembali Aceh pascatsunami. Lembaga World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dan Conservation Indonesia juga meminta rekonstruksi yang berwawasan lingkungan.

Direktur Eksekutif WWF Indonesia Mubariq Ahmad menyatakan program ini bertujuan membantu masyarakat Indonesia, khususnya Aceh, membangun kembali rumah mereka serta mendukung kehidupan dan mata pencariannya. Dalam program itu, WWF Indonesia dan Muslim AID, lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Inggris, memfasilitasi pembangunan rumah kayu bagi korban tsunami di Lhok Nga, Aceh Besar, kemarin. "Kayu hibah itu hasil produksi dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan," kata Mubariq ketika meresmikan rumah itu.

Saat ini WWF Indonesia serta Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias telah menginisiasi banyak kayu hibah yang didatangkan dari luar negeri oleh lembaga-lembaga yang turut serta dalam rekonstruksi Aceh. Tercatat lebih dari 45 ribu meter kubik kayu didatangkan ke Aceh dan Nias serta 20 ribu meter kubik sisanya dalam pengiriman.

Diperkirakan jumlah kayu yang dibutuhkan untuk rekonstruksi Aceh mencapai lebih dari 120 ribu kubik, sesuai dengan rencana pembangunan 120 ribu rumah. Pembangunan satu unit rumah ukuran 36 meter persegi perlu sedikitnya 1,7 meter kubik kayu. "Program ini akan mengurangi tekanan terhadap hutan Indonesia yang kondisinya semakin menurun," kata Mubariq.

Deforestasi dan kerusakan parah hutan Aceh terjadi di bagian utara, barat, dan timur Aceh, serta di beberapa wilayah Sumatera Utara. Lebih dari 20 ribu hektare hutan di Aceh mengalami degradasi setiap tahun. Ancaman tertinggi berasal dari pembalakan liar dengan mengatasnamakan rekonstruksi.

Sehari sebelumnya, WWF juga mengajak masyarakat dan pelajar menanam kembali hutan pantai di Aceh. Tsunami di Aceh telah mengakibatkan sekitar 33.240 hektare hutan bakau hancur, ditambah dengan kerusakan hutan pantai yang mencapai 50 ribu hektare.

Kegiatan yang bertajuk Bumiku Satu itu dilaksanakan di Desa Cot Paya, Aceh Besar, dan diikuti 112 pelajar, guru, aparatur pemerintah, LSM, dan masyarakat, yang beramai-ramai menanam pohon pelindung di pantai. Acara ini merupakan langkah awal pembentukan suatu kebiasaan melalui kegiatan edukasi yang menghibur dan menyenangkan. "Kegiatan menghibur dan belajar dari alam bagi pelajar ini tidak hanya mengembalikan ekosistem lokal, tapi pada saat bersamaan menciptakan naungan alam dan manfaat bagi masyarakat sekitar pesisir yang hidup di daerah rawan bencana," Mubariq mengimbuhkan.