Selasa, 26 Mei 2009

WALI ATJEH.......

Hasan Tiro yang lama mengasingkan diri di EROPA, hari ini (101008) akan 'menghirup' udara Aceh setelah hampir 30 tahun lebih berdomisili di luar negeri. Kedatangan orang nomor satu dalam tubuh GAM ini di harapkan akan memperkuat lagi perdamaian yang sudah terajut di bumi Iskandar Muda. FOTO REPRO
Where are you from? (Anda dari mana?)”, sapa Tgk Hasan di Tiro (HT), ketika saya diperkenalkan kepada beliau dalam satu pertemuan di hotel Skogshem & Wijk, kawasan pinggiran Stockholm yang indah dan damai bernama Lidinge, tanggal 3 April 2006 lalu. Mungkin beliau mengira saya adalah salah seorang anggota GAM yang dari salah satu negara di kawasan negara-negara Scandinavia, yakni negara-negara di sekitar Laut Baltic seperti Norwegia, Denmark, dan Swedia.Memang pada tanggal itu, berlangsung suatu konferensi tentang pembentukan partai lokal di Aceh yang disponsori oleh Palme Center dan dihadiri utusan-utusan GAM dari berbagai negara. Dari Aceh sendiri hadir para elit GAM, di antaranya Tgk. Usman Lampoh Awe, Zakaria Saman, Muzakkir Manaf, Darwis Jeunib, Nur Djuli, Munawar Liza, Shadia Marhaban, Daniel Kinsbury, dan Irwandi Yusuf. Hadir juga Muhammad Nazar, Tgk Imam Syuja, A. Farhan Hamid, Mawardi Ismail, Rufriadi, Maryati, Daniel Djuned. Dari Jerman hadir Teuku Hadi, dan tuan rumah (Swedia) hadir Malek Mahmud, Zaini Abdullah, Bachtiar Abdullah, serta sejumlah unsur GAM, seperti Muzakkir Hamid, yang selalu setia mendampingi Tgk. Hasan Tiro. Selebihnya datang dari Finlandia dan Jerman.Setelah saya membaca dan mendengar begitu banyak orang ingin bertemu beliau namun tidak berhasil, saya merasa sangat beruntung bertemu dan berbicara langsung dengan seorang tokoh yang begitu berpengaruh dalam perjalanan sejarah Aceh. Almarhum Isa Sulaiman suatu waktu menuturkan kepada saya bahwa kendati pada saat konflik Aceh ia dianggap sebagai salah seorang yang dimusuhi oleh sebagian pihak dalam GAM karena pendapat-pendapat ilmiah beliau tentang konflik Aceh, tapi ketika bertemu langsung dengan HT dalam suatu perundingan di Geneva, ternyata beliau disambut baik oleh HT dan bahkan diberikan banyak sekali bahan tulisan HT, yang sangat berguna bagi seorang sejarawan seperti Isa Sulaiman. Menurutnya, HT adalah salah seorang tokoh yang punya pengaruh besar dalam perjalanan sejarah Aceh dalam beberapa dekade terakhir ini.Suatu waktu ketika saya sarapan pagi dengan Tgk. Usman Lampoh Awe di sebuah hotel di Jakarta, tokoh GAM senior yang meninggal dunia beberapa hari lalu ini menceritakan betapa HT adalah seorang yang punya perhatian tentang sesuatu hingga detail. Di hutan pun, suatu waktu pada tahun 1970-an, HT mengajari tentang sopan santun di meja makan (table manner), hingga bagaimana menggunakan sendok dan garpu yang benar ketika makan. Ini menggambarkan bagaimana HT membayangkan bahwa suatu saat nanti mereka akan menjadi orang penting atau diplomat yang akan duduk di meja makan dalam resepsi-resepsi resmi.Terlepas dari kontroversi di Indonesia sendiri, ideologi pemisahan yang dibangun lewat tulisan-tulisan HT dan pidato-pidato beliau telah membangkitkan fanatisme ke-Aceh-an yang menjalar ke pelosok-pelosok desa di Aceh. Dan ini menandakan kebangkitan “ke-Aceh-an” (yang bagi GAM diterjemahkan sebagai kebangkitan bangsa Aceh). Maka tidak heran jika apapun yang berbau dan berwarna Aceh dan berbeda dari bau dan warna Indonesia, disambut baik oleh mayoritas orang Aceh. Ini adalah gejala masyarakat tertekan (depressed).Fenomena itulah yang dimanfaatkan oleh Irwandi-Nazar dalam strategi mereka meraih kemenangan dalam Pilkada pada penghujung 2006 lalu, dengan menampilkan identitas Aceh yang kental dalam pakaian dan tutur. Sekali waktu pada 2003 di Penang, saya mendengar dari Anthony Reid, seorang sejarawan tentang Aceh yang terkenal dan bermukin di Singapura, bahwa di Aceh telah terjadi de-Acehnisasi (degradasi nilai-nilai Aceh), di mana identitas Aceh semakin luntur, di mana orang Aceh tidak lagi berbahasa Aceh, tidak lagi bangga dengan corak dan motif Aceh. Kini waktunya bagi orang Aceh untuk muncul dan bangga kembali dengan identitas Aceh. Dalam suasana demikian pula, gagasan pembangkangan untuk menonjolkan identitas sendiri terjual laku keras dalam masyarakat Aceh pada umumnya pada akhir-akhir ini.Menurut berita, HT akan saweu gampong pada 11 Oktober 2008 ini. Kedatangan beliau tentu akan disambut hangat oleh pengikut-pengikutnya. Namun kita semua patut menyambut baik beliau dalam konteks untuk memupuk dan membina perdamaian yang abadi di Aceh setelah perjanjian perdamaian antara pemerintah RI dengan GAM ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005.Terlepas dari kepentingan-kepentingan politis yang mungkin ada menjelang Pemilu pada April 2009 mendatang, kedatangan HT semestinya menjadi momen berharga bagi semua pihak yang selama konflik panjang berselisih paham untuk bersama-sama merajut helai demi helai benang perdamaian sehingga damai terus berlanjut di bumi Aceh. Ini pulalah yang secara simbolis diharapkan dari kedatangan HT ke Aceh. Semua pihak semestinya memanfaatkan momen ini untuk maksud damai, bukan malah mengambil tindakan yang justru dapat merusak perdamaian atau menuai benih kebencian baru.Lebih mudah melahirkan perdamaian dibandingkan dengan mengasuhnya. Bayi perdamaian biasanya lemah di tahap awal, rapuh dan mudah pecah dalam perjalanannya, tapi dengan komitmen para pihak, maka kita yakin perdamaian abadi dapat tumbuh secara bertahap dan menguntungkan bagi semua.Kendati dalam usia lanjut, HT tampak secara fisik masih kuat. Saya melihat tongkat yang selalu di genggaman beliau hanya dipakai sesekali saja. Postur tubuh agak kecil, tapi kharisma beliau tinggi sekali, tampak dari begitu hormatnya teman-teman anggota GAM kepada beliau. Tidak banyak bicara, tapi sangat perhatian jika orang lain berbicara. Ternyata beliau seorang pendengar yang baik. Walaupun ketika bertemu di Swedia, beliau berbicara dengan saya dalam bahasa Inggris, tapi masih sangat mengerti bahasa Aceh ketika sesekali saya menjawab dalam bahasa Aceh. Banyak senyum dan sesekali tertawa lepas, beliau lebih banyak mendengar dan mengangguk-angguk ketika Malek Mahmud atau Zaini Abdullah menjelaskan sesuatu.Beliau juga penuh perhatian ketika sekalipun bukan orang GAM sedang menyampaikan sesuatu kepada beliau. Kebiasaan beliau yang menulis catatan harian (Diary) sebagai rutinitas harian di apartemennya hingga sekarang patut dicontoh.Menulis ternyata menjadi senjata yang lebih ampuh dari senapan mesin. Tulisan ternyata selain menjadi catatan sejarah bagi generasi berikutnya (kendati seringpula bersifat subjektif), tapi pengaruhnya pada opini masyarakat jauh lebih besar dari senjata dalam bentuk fisik dan berbagai bentuk indoktrinasi yang dipaksakan. Tidak ada keterpaksaan dalam membaca suatu tulisan dari seorang penulis, tapi tulisan itu dapat menanamkan suatu ideologi atau kecintaan pada sesuatu.Kepulangan Hasan Tiro (HT) bagi sebagian orang Aceh adalah terkabulnya suatu penantian yang panjang untuk mengobati kerinduan bertemu langsung. Namun bagi sebagian lain ini peristiwa biasa-biasa saja, layaknya seorang warga asing berkunjung ke salah satu bagian Indonesia. Tapi bagaimanapun ada harapan besar bagi kebanyakan orang Aceh, bahwa kepulangan HT setelah lebih dari tiga dekade meninggalkan tanah kelahirannya akan membawa masa depan perdamaian abadi di Aceh.Kesediaan datang ke Aceh saja patut dihargai. Bahwa HT menyambut baik perdamaian di Aceh (atau minimal tidak menolak) ditandai oleh beberapa event. Salah satunya adalah ketika HT menerima Pieter Feith, Ketua Aceh Monitoring Mission (AMM) di Stockholm pada 11 Oktober 2006 dan membicarakan isu-isu yang terkait dengan proses perdamaian. Semoga komitmen untuk melestarikan perdamaian tetap ada. Selamat datang Tgk Hasan Tiro ke Aceh, selamat datang perdamaian abadi. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar